KONSELING BEHAVIORISTIK
A. PENGANTAR KONSELING BEHAVIORISTIK
Istilah
Konseling Behavioristik berasal dari istilah bahasa Inggris Behavioral
Counseling, yang untuk pertama kali digunakan oleh John D. Krumboltz (1964),
untuk menggarisbawahi bahwa konseling diharapkan menghasilkan perubahan yang
nyata dalam perilaku klien.
Krumboltz adalah promotor utama dalam menerapkan pendekatan behavioristik
terhadap konseling, meskipun dia melanjutkan suatu aliran yang sudah dimulai
sejak tahun 1950, sebagai reaksi terhadap corak konseling yang memandang hubungan antarpribadi (personal
relationship) antara konselor dan klien
sebagai komponen yang mutlak diperlukan dan sekaligus cukup untuk memberikan
bantuan psikologis kepada seseorang.
Aliran baru ini menekankan bahwa hubungan antarpribadi
itu tidak dapat diteliti secara ilmiah, sedangkan perubahan nyata dalam
perilaku konseli memungkinkan dilakukan penelitian ilmiah. Tokoh-tokoh seperti
Dollard dan Miller (950), Wolpe (1958), Lazarus (1958), dan Eysenck (1952)
meletakkan dasar aliran baru ini, yang akhirnya dipromosikan sebagai pendekatan
baru terhadap konseling dan kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh tokoh-tokoh
seperti Thoresen (1966), Bandura (1969), Goldstein (1966), Lazarus (1966),
Yates (1970) serta Dustin dan George (1977). Dalam buku Counseling Methods
(1976) Krumboltz dan Thoresen sudah tidak menggunakan istilah Behavioral
Counseling, karena mereka menganggap kesadaran akan perlunya perubahan dalam
perilaku konseli sudah tertanam dalam kalangan para ahli psikoterapi dan
konseling.
Perubahan dalam perilaku itu harus diusahakan melalui
suatu proses belajar (learning) atau belajar kembali (relearning), yang
berlangsung selama proses konseling. Oleh karena itu, proses konseling
dipandang sebagai suatu proses pendidikan (an educational process), yang
terpusat pada usaha membantu dan kesediaan dibantu untuk belajar perilaku baru
dan dengan demikian mengatasi berbagai macam permasalahan. Perhatian difokuskan
pada perilaku-perilaku tertentu yang dapat diamati (observable), yang selama
proses konseling melalui berbagai prosedur dan aneka teknik tertentu akhirnya
menghasilkan perubahan yang nyata, yang juga dapat disaksikan dengan jelas.
Semua usaha untuk menuatangkan perubahan dalam tingkah laku (behavior change)
didasarkan pada teori belajar yang dikenal dengan nama Behaviorisme dan sudah
dikembangkan sebelurn lahir aliran pendekatan Behavioristik dalam konseling.
Teori belajar Behaviorisme mengandung banyak variasi
dalam sudut pandangan. Oleh karena itu, pendekatan Behavioristik dalam
konseling mengenal banyak variasi dalam prosedur, metode, dan teknik yang
diterapkan. Meskipun demikian. jajaran pelopor pendekatan Behavioristik pada
dasarnya berpegang pada keyakinan bahwa banyak perilaku manusia merupakan hasil
suatu proses belajar dan, karena itu, dapat diuoah dengan belajar baru. Dengan
demikian, proses konseling pada dasarnya pun dipandang sebagai suatu proses
belajar
B. PANDANGANTERHADAP MANUSIA
Konseling Behavioristik berpangkal pada beberapa keyakinan tentang martabat . manusia, yang
sebagian bersifat falsafah dan sebagian lagi bercorak psikologis, yaitu:
·
Manusia pada dasarnya tidak berakhlak baik atau
buruk, bagus atau jelek. Manusia mempunyai potensi untuk bertingkah laku baik
atan buruk, tepat atau salah. Berdasarkan bekal keturunan atau pembawaan dan
berkat interaksi antara bekal keturunan dan lingkungan, terbentuk aneka pola
bertingkah laku yang menjadi suatu ciri khas pada keprihadiannya.
·
Manusia
mampu untuk berefleksi atas tingkah lakunya sendiri, menangkap apa yang
dilakukannya, dan mengatur serta mengontrol perilakunya sendiri.
·
Manusia mampu untuk memperoleh dan membentuk
sendiri suatu pola tingkah laku yang baru melalui suatu proses belajar. Kalau
pola yang lama dahulu dibentuk melalui belajar, pola itu dapat pula diganti
melalui usaha belajar yang baru.
·
Manusia dapat mempengaruhi perilaku orang lain
dan dirinya pun dipengaruhi oleh perilaku orang lain.
Keyakinan tersebut itu, sebagaimana pernah dirumuskan
oleh Dustin dan George, dikutip dalam buku karangan George dan Christiani:
Theory. Methods, and Processes of Counseling and Psychotherapy (halaman 108).
Sejalan dengan keyakinan mendasar itu. bagi seorang konselor behavioristik
perilaku konseli merupakan hasil dari keseluruhan pengalaman hidupnya dalam
berinteraksi dengan lingkungan
Konselor behavioral menganggap semua manusia sama,
tidak ada yang baik dan tidak ada yang jahat. Masing-masing mempunyai potensi
seimbang ke arah menjadi sama ada baik ataupun jahat. Hasilnya, ahli-ahli teori
tingkah laku tidak sepenuhnya memberikan definisi tabiat asas kemanusiaan itu
yang boleh membantu teori-teori mereka sendiri.
C. KONSEP TENTANG TINGKAH LAKU
Menurut Taufik (2009 : 155), terdapat tiga asumsi dasar
yang mendasari teori Skinner mengenai tingkah laku, yaitu :
1.
Tingkah laku itu ditentukan oleh
aturan-aturan/hukum-hukum, yang artinya adalah upaya urutan terjadinya tingkah
laku dalam kaitannya dengan suatu kejadian.
2.
Tingkah laku dapat diramalkan, artinya ada upaya yang
tidak hanya menguraikan tingkah laku, namun juga untuk memprediksi tingkah laku
yang akan tampil di masa yang akan datang.
3.
Tingkah laku dapat dikontrol/dikendalikan; dalam arti
individu dapat mengantisipasi atau mengetahui terlebih dahulu keluasan
aktivitas atau perilakunya.
Mengenai tingkah laku yang ditentukan oleh tujuan,
behaviorisme memandang bahwa tujuan merupakan kebutuhan yang ingin dicapai
melalui proses belajar. Tujuan yang semula diasosiasikan dengan penguatan
fisiologik, akan mencapai kemasakan seiring dengan interaksi manusia terhadap
lingkungannya. Jika kebutuhan yang satu telah dicapai, maka kebutuhan lain akan
muncul sebagai pengiring bagi kebutuhan selanjutnya, sekaligus merupakan hasil
asosiasi dari tujuan sebelumnya. Melalui proses yang sedemikian ini, akan
dipahami bahwa kebutuhan yang dipelajari itu berkembang dan membentuk
diferensiasi dan tergeneralisasi dari yang spesifik (primer) sampai pada
kebutuhan yang umum (sekunder).
D. TEORI KEPRIBADIAN
Menurut Prayitno (1998 : 71), struktur kepribadian
individu meliputi pola-pola tingkah laku yang dipelajari. Hal ini dijelaskan
oleh Taufik (2009 : 156) bahwa terdapatnya variasi dalam intensitas tingkah
laku sangat dipengaruhi oleh sumber-sumber lingkungan. Prayitno (1998 : 71)
juga mengemukakan bahwa peranan penguatan (reinforcement)
amatlah penting, terutama self-reinforcement.
Penguatan adalah unsur penting dalam pemanipulasian perilaku. Menurut Taufik
(2009 : 156), penguatan dapat membuat organisme mampu membentuk perilaku yang
diinginkan melalui proses belajar operan. Selain itu, penguatan juga tergantung
pada “jadwal penguatan” atau “aturan” yang menentukan dalam keadaan bagaimana
dan kapan penguatan diberikan.
E. PERKEMBANGAN TINGKAH LAKU SALAH SUAI
Kalau perilaku klien ditinjau dari sudut pandangan apakah
perilaku itu tepat dan sesuai dengan situasi kehidupannya (well-adjusted) atau
tidak tepat dan salah suai (maladjusted), harus dikatakan bahwa baik. tingkah
laku tepat mauptin tingkah laku salah sama-sama merupakan hasil belajar. Karena
tingkah laku salah merupakan hasil belajar, tingkah laku yang salah itu juga
dapat dihapus dan diganti dengan tingkah laku yang tepat melalui suatu proses
belajar.
Dengan kata lain, kalau seseorang mengalami kesulitan
dalam penyesuaian diri (adjustment), hal itu disebabkan karena orang itu telah
belajar bertingkah laku yang salah. Di masa yang lampau orang belajar dalam
interaksi dengan lingkungannya, lebih¬lebih orang lain (Lingkungan sosial). Dia
telah berhadapan dengan sejumlah rangsangan (Stimulus, disingkat S) dan telah
bereaksi pula dengan cara tertentu (Response, disingkat R). Cara bereaksi itu
lama-kelamaan akan dapat membentuk suatu pola bertingkah laku. yang sesuai
dengan situasi kehidupannya pada saat tertentu. Suatu pola bertingkah laku yang
dahulu mungkin sesuai, di waktu kemudian dapat tidak sesuai lagi karena situasi
kehidupannya telah berubah. Kalau pola berperilaku yang dipelajari dahulu tetap
dipertahankan, meskipun situasi kehidupan telah berubah, akan ada kesulitan, alias
orang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri
Ukuran tingkah laku yang salah suai hanya terdapat jika
tingkah laku tersebut berada pada derajat tingkah laku yang dapat mengecewakan
individu atau lingkungannya. Oleh sebab itu, keberadaan budaya akan sangat
menentukan sebagai refleksi pertimbangan kesesuaian. Ketepatan atau
ketidaktepatan perilaku akan sangat bergantung pada determinasi pemenuhan
kebutuhan yang disandarkan kepada kondisi lingkungan dan budaya. Karena itu
pula, interaksi dengan kebudayaan akan berguna sebagai pembelajaran dan dalam
merangking hirarki khasanah tingkah laku.
F. TUJUAN KONSELING
Tujuan konseling menduduki tempat yang sangat penting
dan ditentukan oleh konselor dan klien sejak permulaan proses konseling.
Menurut Taufik (2009 : 156), tujuan umum adalah menciptakan kondisi-kondisi
baru bagi belajar (semua perilaku dipelajari), membantu menolong diri sendiri (self-help), peningkatan keterampilan
sosial, dan tujuan membantu klien dalam mengembangkan suatu sistem pengaturan
diri (self-management), sehingga
klien dapat mengontrol nasibnya (self-control)
baik di dalam maupun diluar situasi konseling.
Krumboltz (dalam Hansen, 1977) memberikan karakteristik
tujuan konseling yang patut diperhatikan konselor, yaitu :
1.
Tujuan harus diinginkan klien,
2.
Konselor harus berkeinginan membantu klien,
3.
Tujuan memungkinkan untuk dinilai pencapaiannya oleh
klien,
4.
Tujuan memperbaiki perilaku salah suai, belajar tentang
proses pembuatan keputusan, dan pencegahan timbulnya masalah.
G. TEKNIK KONSELING
Teknik-teknik dalam melangsungkan konseling dengan
pendekatan konseling behavioral tidak hanya tertuju pada hukum-hukum belajar,
akan tetapi dapat diterapkan dengan pemaduan pendekatan lain yang muaranya sama
pada batasan perubahan tingkah laku nyata, baik dalam menampilkan tingkah laku
baru maupun menghilangkan tingkah laku yang tidak diinginkan. Adapun teknik
konseling behavioral dikelompokkan dalam tiga bagian yaitu :
1. Teknik Memperkuat Tingkah Laku
a.
Shaping,
adalah mengganjarkan tingkah laku dengan terus menerus melakukan aproksimasi
dan membuat rantai hubungan. Shaping dilakukan melalui sejumlah pendekatan yang
berangsur, dan dalam prosesnya akan terdapat tingkah laku yang direinfors dan
ada yang tidak. Pada setiap tahap, konselor diharapkan dapat memberikan
reinfors sampai pada tahap perilaku yang diinginkan itu muncul.
b. Behavior
Contract, yaitu kontrak tingkah laku yang syarat mutlaknya terdapat pada
batasan yang cermat mengenai problem klien, situasi dimana hal itu
diekspresikan, dan kesediaan klien dalam prosedur. Konselor hendaknya
merincikan tugas yang mesti dilakukan klien dan kriteria sukses yang
direinforcement. Caranya adalah dengan menyatakan kontrak dalam kalimat
positif, mengatur tugas dan kriteria yang mungkin dicapai, memberi penguatan
secepat mungkin, mendorong individu untuk mengembangkan self-reinforcing, dan menggunakan kontrak bertingkat yang
mengacu pada tugas, kemudian diikuti hadiah yang menimbulkan kontrak baru, dan
seterusnya.
c. Assertive
Training, yaitu latihan ketegasan, dengan menggunakan teknik latihan
permainan peran. Proses shaping
terjadi apabila tingkah laku baru mendekati tingkah laku yang diinginkan.
2. Modelling
Penggunaan model dalam konseling ini bertujuan untuk
mempelajari tingkah laku baru dengan mengamati model dan mempelajari
keterampilannya. Teknik ini juga diperuntukkan bagi klien yang telah
memiliki pengetahuan tentang penampilan tingkah laku tetapi belum dapat
menampilkannya. Proses terapeutik dalam bentuk Modelling ini akan membantu/mempengaruhi
tingkah laku yang lemah atau memperkuat tingkah laku yang siap dipelajari dan
memperlancar respon. Teknik konseling Modelling ini dapat berupa :
a.
Proses Mediasi, yaitu proses terapeutik yang
memungkinkan penyimpanan dan recall
asosiasi antara stimulus dan respon dalam ingatan. Dalam prosesnya,
mediasi melibatkan empat aspek yaitu atensi, retensi, reproduksi motorik,
dan insentif. Atensi pada respon model akan diretensi dalam bentuk simbolik dan
diterjemahkan kembali dalam bentuk tingkah laku (reproduksi motorik) yang
insentif.
b.
Live Model
dan Symbolic Model, yaitu model hidup
yang diperoleh klien dari konselor atau orang lain dalam bentuk tingkah laku
yang sesuai, pengaruh sikap, dan nilai-nilai keahlian kemasyarakatan.
Keberadaan konselor pun dalam keseluruhan proses konseling akan membawa
pengaruh langsung (live model) baik
dalam sikap yang hangat maupun dalam sikap yang dingin. Sedangkan symbolic model dapat ditunjukkan melalui
film, video, dan media rekaman lainnya.
c.
Behavior
Rehearsal, yaitu latihan tingkah laku dalam bentuk gladi dengan cara
melakukan atau menampilkan perilaku yang mirip dengan keadaan sebenarnya. Bagi
klien teknik ini sekaligus dapat dijadikan refleksi, koreksi, dan balikan
yang ia peroleh dari konselor dalam upaya mengetahui apa yang seharusnya
ia lakukan dan ia katakana.
d.
Cognitive
Restructuring, yaitu proses menemukan dan menilai kognisi seseorang,
memahami dampak negatif pemikiran tertentu terhadap tingkah laku, dan belajar
mengganti kognisi tersebut dengan pemikiran yang lebih realistic dan lebih
cocok. Teknik ini dapat dilakukan dengan memberikan informasi yang korektif,
belajar mengendalikan pemikiran sendiri, menghilangkan keyakinan irrasional,
dan menandai kembali diri sendiri.
e.
Covert
Reinforcement, yaitu teknik yang memakai imajinasi untuk menghadiahi diri
sendiri. Teknik ini dapat dilangsungkan dengan meminta klien untuk memasangkan
antara tingkah laku yang tidak dikehendaki dengan sesuatu yang sangat negatif,
dan memasangkan imaji sesuatu yang dikehendaki dengan imaji sesuatu yang
ekstrim positif.
3. Teknik Melemahkan Tingkah Laku
a.
Extinction,
yaitu proses mengurangi frekuensi terjadinya suatu tingkah laku dengan
menghilangkan reinforcementnya.
b.
Reinforcing
Incompatible Behavior, yaitu proses memperkuat tingkah laku positif dengan
memberikan reinforcers pada respon yang diinginkan dan mengurangi tingkah laku
yang negatif dengan cara mengabaikannya.
c.
Relaxation
Training, yaitu teknik rileksasi untuk menanggulangi tekanan-tekanan
(stress) yang ditimbulkan oleh keadaan hidup sehari-hari. Teknik ini diberikan
kepada klien agar memperoleh pengenduran otot-otot dan mental yang terganggu
tersebut.
d.
Systematic
Desensitization, yaitu prosedur terapeutik yang dipakai dalam
berbagai keadaan yang berhubungan dengan kecemasan, ketakutan, dan reaksi phobia. Dalam teknik ini, klien dilatih
untuk rileks selama kurang lebih 30 menit, dan kemudian klien menyusun situasi
stimulus yang didalamnya mereka mengalami cemas. Sedangkan konselor membantu
mengidentifikasi dan menyusun situasi dari pengalaman yang tingkat kecemasannya
rendah sampai yang tertinggi. Setelah klien benar-benar rileks, konselor dapat
memulai teknik terapeutik dengan cara meminta klien memejamkan matanya dan
konselor mulai menggambarkan seri-seri adegan dan meminta klien untuk
membayangkan dirinya dalam setiap adegan tersebut. Konselor bergerak secara
progresif ke hierarki sampai klien memberikan tanda mengalami kegelisahan.
Adegan dihentikan apabila klien mampu tetap rilek dalam reinforcement yang sebelumnya dianggap menggelisahkan.
e.
Satiation,
yaitu proses memberikan reinforcement
yang berlebihan sehingga reinforcement kehilangan nilainya sebagai penguat. Satiation dapat dilakukan dengan
membanjiri klien dengan stimulus yang sama hingga stimulus tidak lagi direspon.
KEPUSTAKAAN
Miharja. 2010. Konseling Behavioristik.(onlin) (http://miharjauin.blogspot.com,
diakses (On line) diakses 29 April 2014.
Prayitno.
1998. Konseling Pancawaskita: Kerangka
Konseling Eklektik. Padang: FIP UNP.
Taufik.
2009. Model-Model Konseling. Padang:
FIP UNP
kak, pernah ketemu buku khusus behavioral rehearsal?
BalasHapuskalau khusus belum pernah kak...
Hapus