Entri Populer

Jumat, 07 November 2014

Konseling Behaviour


KONSELING BEHAVIORISTIK


A.      PENGANTAR KONSELING BEHAVIORISTIK
Istilah Konseling Behavioristik berasal dari istilah bahasa Inggris Behavioral Counseling, yang untuk pertama kali digunakan oleh John D. Krumboltz (1964), untuk menggarisbawahi bahwa konseling diharapkan menghasilkan perubahan yang nyata dalam perilaku klien. Krumboltz adalah promotor utama dalam menerapkan pendekatan behavioristik terhadap konseling, meskipun dia melanjutkan suatu aliran yang sudah dimulai sejak tahun 1950, sebagai reaksi terhadap corak konseling yang memandang hubungan antarpribadi (personal relationship) antara konselor dan klien sebagai komponen yang mutlak diperlukan dan sekaligus cukup untuk memberikan bantuan psikologis kepada seseorang.
Aliran baru ini menekankan bahwa hubungan antarpribadi itu tidak dapat diteliti secara ilmiah, sedangkan perubahan nyata dalam perilaku konseli memungkinkan dilakukan penelitian ilmiah. Tokoh-tokoh seperti Dollard dan Miller (950), Wolpe (1958), Lazarus (1958), dan Eysenck (1952) meletakkan dasar aliran baru ini, yang akhirnya dipromosikan sebagai pendekatan baru terhadap konseling dan kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh tokoh-tokoh seperti Thoresen (1966), Bandura (1969), Goldstein (1966), Lazarus (1966), Yates (1970) serta Dustin dan George (1977). Dalam buku Counseling Methods (1976) Krumboltz dan Thoresen sudah tidak menggunakan istilah Behavioral Counseling, karena mereka menganggap kesadaran akan perlunya perubahan dalam perilaku konseli sudah tertanam dalam kalangan para ahli psikoterapi dan konseling.
Perubahan dalam perilaku itu harus diusahakan melalui suatu proses belajar (learning) atau belajar kembali (relearning), yang berlangsung selama proses konseling. Oleh karena itu, proses konseling dipandang sebagai suatu proses pendidikan (an educational process), yang terpusat pada usaha membantu dan kesediaan dibantu untuk belajar perilaku baru dan dengan demikian mengatasi berbagai macam permasalahan. Perhatian difokuskan pada perilaku-perilaku tertentu yang dapat diamati (observable), yang selama proses konseling melalui berbagai prosedur dan aneka teknik tertentu akhirnya menghasilkan perubahan yang nyata, yang juga dapat disaksikan dengan jelas. Semua usaha untuk menuatangkan perubahan dalam tingkah laku (behavior change) didasarkan pada teori belajar yang dikenal dengan nama Behaviorisme dan sudah dikembangkan sebelurn lahir aliran pendekatan Behavioristik dalam konseling.
Teori belajar Behaviorisme mengandung banyak variasi dalam sudut pandangan. Oleh karena itu, pendekatan Behavioristik dalam konseling mengenal banyak variasi dalam prosedur, metode, dan teknik yang diterapkan. Meskipun demikian. jajaran pelopor pendekatan Behavioristik pada dasarnya berpegang pada keyakinan bahwa banyak perilaku manusia merupakan hasil suatu proses belajar dan, karena itu, dapat diuoah dengan belajar baru. Dengan demikian, proses konseling pada dasarnya pun dipandang sebagai suatu proses belajar

B.     PANDANGANTERHADAP MANUSIA
Konseling Behavioristik berpangkal pada beberapa keyakinan tentang martabat . manusia, yang sebagian bersifat falsafah dan sebagian lagi bercorak psikologis, yaitu:
·         Manusia pada dasarnya tidak berakhlak baik atau buruk, bagus atau jelek. Manusia mempunyai potensi untuk bertingkah laku baik atan buruk, tepat atau salah. Berdasarkan bekal keturunan atau pembawaan dan berkat interaksi antara bekal keturunan dan lingkungan, terbentuk aneka pola bertingkah laku yang menjadi suatu ciri khas pada keprihadiannya.
·         Manusia mampu untuk berefleksi atas tingkah lakunya sendiri, menangkap apa yang dilakukannya, dan mengatur serta mengontrol perilakunya sendiri.
·         Manusia mampu untuk memperoleh dan membentuk sendiri suatu pola tingkah laku yang baru melalui suatu proses belajar. Kalau pola yang lama dahulu dibentuk melalui belajar, pola itu dapat pula diganti melalui usaha belajar yang baru.
·         Manusia dapat mempengaruhi perilaku orang lain dan dirinya pun dipengaruhi oleh perilaku orang lain.
Keyakinan tersebut itu, sebagaimana pernah dirumuskan oleh Dustin dan George, dikutip dalam buku karangan George dan Christiani: Theory. Methods, and Processes of Counseling and Psychotherapy (halaman 108). Sejalan dengan keyakinan mendasar itu. bagi seorang konselor behavioristik perilaku konseli merupakan hasil dari keseluruhan pengalaman hidupnya dalam berinteraksi dengan lingkungan
Konselor behavioral menganggap semua manusia sama, tidak ada yang baik dan tidak ada yang jahat. Masing-masing mempunyai potensi seimbang ke arah menjadi sama ada baik ataupun jahat. Hasilnya, ahli-ahli teori tingkah laku tidak sepenuhnya memberikan definisi tabiat asas kemanusiaan itu yang boleh membantu teori-teori mereka sendiri.

C.      KONSEP TENTANG TINGKAH LAKU
Menurut Taufik (2009 : 155), terdapat tiga asumsi dasar yang mendasari teori Skinner mengenai tingkah laku, yaitu :
1.    Tingkah laku itu ditentukan oleh aturan-aturan/hukum-hukum, yang artinya adalah upaya urutan terjadinya tingkah laku dalam kaitannya dengan suatu kejadian.
2.    Tingkah laku dapat diramalkan, artinya ada upaya yang tidak hanya menguraikan tingkah laku, namun juga untuk memprediksi tingkah laku yang akan tampil di masa yang akan datang.
3.    Tingkah laku dapat dikontrol/dikendalikan; dalam arti individu dapat mengantisipasi atau mengetahui terlebih dahulu keluasan aktivitas atau perilakunya. 

Mengenai tingkah laku yang ditentukan oleh tujuan, behaviorisme memandang bahwa tujuan merupakan kebutuhan yang ingin dicapai melalui proses belajar. Tujuan yang semula diasosiasikan dengan penguatan fisiologik, akan mencapai kemasakan seiring dengan interaksi manusia terhadap lingkungannya. Jika kebutuhan yang satu telah dicapai, maka kebutuhan lain akan muncul sebagai pengiring bagi kebutuhan selanjutnya, sekaligus merupakan hasil asosiasi dari tujuan sebelumnya. Melalui proses yang sedemikian ini, akan dipahami bahwa kebutuhan yang dipelajari itu berkembang dan membentuk diferensiasi dan tergeneralisasi dari yang spesifik (primer) sampai pada kebutuhan yang umum (sekunder).

D.    TEORI KEPRIBADIAN
Menurut Prayitno (1998 : 71), struktur kepribadian individu meliputi pola-pola tingkah laku yang dipelajari. Hal ini dijelaskan oleh Taufik (2009 : 156) bahwa terdapatnya variasi dalam intensitas tingkah laku sangat dipengaruhi oleh sumber-sumber lingkungan. Prayitno (1998 : 71) juga mengemukakan bahwa peranan penguatan (reinforcement) amatlah penting, terutama self-reinforcement. Penguatan adalah unsur penting dalam pemanipulasian perilaku. Menurut Taufik (2009 : 156), penguatan dapat membuat organisme mampu membentuk perilaku yang diinginkan melalui proses belajar operan. Selain itu, penguatan juga tergantung pada “jadwal penguatan” atau “aturan” yang menentukan dalam keadaan bagaimana dan kapan penguatan diberikan.

E.      PERKEMBANGAN TINGKAH LAKU SALAH SUAI
 Kalau perilaku klien ditinjau dari sudut pandangan apakah perilaku itu tepat dan sesuai dengan situasi kehidupannya (well-adjusted) atau tidak tepat dan salah suai (maladjusted), harus dikatakan bahwa baik. tingkah laku tepat mauptin tingkah laku salah sama-sama merupakan hasil belajar. Karena tingkah laku salah merupakan hasil belajar, tingkah laku yang salah itu juga dapat dihapus dan diganti dengan tingkah laku yang tepat melalui suatu proses belajar.
Dengan kata lain, kalau seseorang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri (adjustment), hal itu disebabkan karena orang itu telah belajar bertingkah laku yang salah. Di masa yang lampau orang belajar dalam interaksi dengan lingkungannya, lebih¬lebih orang lain (Lingkungan sosial). Dia telah berhadapan dengan sejumlah rangsangan (Stimulus, disingkat S) dan telah bereaksi pula dengan cara tertentu (Response, disingkat R). Cara bereaksi itu lama-kelamaan akan dapat membentuk suatu pola bertingkah laku. yang sesuai dengan situasi kehidupannya pada saat tertentu. Suatu pola bertingkah laku yang dahulu mungkin sesuai, di waktu kemudian dapat tidak sesuai lagi karena situasi kehidupannya telah berubah. Kalau pola berperilaku yang dipelajari dahulu tetap dipertahankan, meskipun situasi kehidupan telah berubah, akan ada kesulitan, alias orang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri
Ukuran tingkah laku yang salah suai hanya terdapat jika tingkah laku tersebut berada pada derajat tingkah laku yang dapat mengecewakan individu atau lingkungannya. Oleh sebab itu, keberadaan budaya akan sangat menentukan sebagai refleksi pertimbangan kesesuaian. Ketepatan atau ketidaktepatan perilaku akan sangat bergantung pada determinasi pemenuhan kebutuhan yang disandarkan kepada kondisi lingkungan dan budaya. Karena itu pula, interaksi dengan kebudayaan akan berguna sebagai pembelajaran dan dalam merangking hirarki khasanah tingkah laku.

F.     TUJUAN KONSELING
Tujuan konseling menduduki tempat yang sangat penting dan ditentukan oleh konselor dan klien sejak permulaan proses konseling. Menurut Taufik (2009 : 156), tujuan umum adalah menciptakan kondisi-kondisi baru bagi belajar (semua perilaku dipelajari), membantu menolong diri sendiri (self-help), peningkatan keterampilan sosial, dan tujuan membantu klien dalam mengembangkan suatu sistem pengaturan diri (self-management), sehingga klien dapat mengontrol nasibnya (self-control) baik di dalam maupun diluar situasi konseling.
Krumboltz (dalam Hansen, 1977) memberikan karakteristik tujuan konseling  yang patut diperhatikan konselor, yaitu :
1.    Tujuan harus diinginkan klien,
2.    Konselor harus berkeinginan membantu klien,
3.    Tujuan memungkinkan untuk dinilai pencapaiannya oleh klien,
4.    Tujuan memperbaiki perilaku salah suai, belajar tentang proses pembuatan keputusan, dan pencegahan timbulnya masalah.




G.     TEKNIK KONSELING
Teknik-teknik dalam melangsungkan konseling dengan pendekatan konseling behavioral tidak hanya tertuju pada hukum-hukum belajar, akan tetapi dapat diterapkan dengan pemaduan pendekatan lain yang muaranya sama pada batasan perubahan tingkah laku nyata, baik dalam menampilkan tingkah laku baru maupun menghilangkan tingkah laku yang tidak diinginkan. Adapun teknik konseling behavioral dikelompokkan dalam tiga bagian yaitu :
1.      Teknik Memperkuat Tingkah Laku
a.    Shaping, adalah mengganjarkan tingkah laku dengan terus menerus melakukan aproksimasi dan membuat rantai hubungan. Shaping dilakukan melalui sejumlah pendekatan yang berangsur, dan dalam prosesnya akan terdapat tingkah laku yang direinfors dan ada yang tidak. Pada setiap tahap, konselor diharapkan dapat memberikan reinfors sampai pada tahap perilaku yang diinginkan itu muncul.
b. Behavior Contract, yaitu kontrak tingkah laku yang syarat mutlaknya terdapat pada batasan yang cermat mengenai problem klien, situasi dimana hal itu diekspresikan, dan kesediaan klien dalam prosedur. Konselor hendaknya merincikan tugas yang mesti dilakukan klien dan kriteria sukses yang direinforcement. Caranya adalah dengan menyatakan kontrak dalam kalimat positif, mengatur tugas dan kriteria yang mungkin dicapai, memberi penguatan secepat mungkin, mendorong individu untuk mengembangkan self-reinforcing, dan menggunakan kontrak bertingkat yang  mengacu pada tugas, kemudian diikuti hadiah yang menimbulkan kontrak baru, dan seterusnya.
c. Assertive Training, yaitu latihan ketegasan, dengan menggunakan teknik latihan permainan peran. Proses shaping terjadi apabila tingkah laku baru mendekati tingkah laku yang diinginkan.
2. Modelling
Penggunaan model dalam konseling ini bertujuan untuk mempelajari tingkah laku baru dengan mengamati model dan mempelajari keterampilannya. Teknik ini juga diperuntukkan bagi klien yang telah memiliki  pengetahuan tentang penampilan tingkah laku tetapi belum dapat menampilkannya. Proses terapeutik dalam bentuk Modelling ini akan membantu/mempengaruhi tingkah laku yang lemah atau memperkuat tingkah laku yang siap dipelajari dan memperlancar respon. Teknik konseling Modelling ini dapat berupa :
a.    Proses Mediasi, yaitu proses terapeutik yang memungkinkan penyimpanan dan recall asosiasi antara stimulus dan respon dalam ingatan. Dalam prosesnya,  mediasi melibatkan empat aspek yaitu atensi, retensi, reproduksi motorik, dan insentif. Atensi pada respon model akan diretensi dalam bentuk simbolik dan diterjemahkan kembali dalam bentuk tingkah laku (reproduksi motorik) yang insentif.
b.    Live Model dan Symbolic Model, yaitu model hidup yang diperoleh klien dari konselor atau orang lain dalam bentuk tingkah laku yang sesuai, pengaruh sikap, dan nilai-nilai keahlian kemasyarakatan. Keberadaan konselor pun dalam keseluruhan proses konseling akan membawa pengaruh langsung (live model) baik dalam sikap yang hangat maupun dalam sikap yang dingin. Sedangkan symbolic model dapat ditunjukkan melalui film, video, dan media rekaman lainnya.
c.    Behavior Rehearsal, yaitu latihan tingkah laku dalam bentuk gladi dengan cara melakukan atau menampilkan perilaku yang mirip dengan keadaan sebenarnya. Bagi klien teknik ini sekaligus dapat dijadikan refleksi, koreksi, dan balikan  yang ia peroleh dari konselor dalam upaya mengetahui apa yang seharusnya ia lakukan dan ia katakana.
d.   Cognitive Restructuring, yaitu proses menemukan dan menilai kognisi seseorang, memahami dampak negatif pemikiran tertentu terhadap tingkah laku, dan belajar mengganti kognisi tersebut dengan pemikiran yang lebih realistic dan lebih cocok. Teknik ini dapat dilakukan dengan memberikan informasi yang korektif, belajar mengendalikan pemikiran sendiri, menghilangkan keyakinan irrasional, dan menandai kembali diri sendiri.
e.    Covert Reinforcement, yaitu teknik yang memakai imajinasi untuk menghadiahi diri sendiri. Teknik ini dapat dilangsungkan dengan meminta klien untuk memasangkan antara tingkah laku yang tidak dikehendaki dengan sesuatu yang sangat negatif, dan memasangkan imaji sesuatu yang dikehendaki dengan imaji sesuatu yang ekstrim positif.
3. Teknik Melemahkan Tingkah Laku
a.    Extinction, yaitu proses mengurangi frekuensi terjadinya suatu tingkah laku dengan menghilangkan reinforcementnya.
b.    Reinforcing Incompatible Behavior, yaitu proses memperkuat tingkah laku positif dengan memberikan reinforcers pada respon yang diinginkan dan mengurangi tingkah laku yang negatif dengan cara mengabaikannya.
c.    Relaxation Training, yaitu teknik rileksasi untuk menanggulangi tekanan-tekanan (stress) yang ditimbulkan oleh keadaan hidup sehari-hari. Teknik ini diberikan kepada klien agar memperoleh pengenduran otot-otot dan mental yang terganggu tersebut.
d.   Systematic Desensitization,  yaitu prosedur terapeutik yang dipakai dalam berbagai keadaan yang berhubungan dengan kecemasan, ketakutan, dan reaksi phobia. Dalam teknik ini, klien dilatih untuk rileks selama kurang lebih 30 menit, dan kemudian klien menyusun situasi stimulus yang didalamnya mereka mengalami cemas. Sedangkan konselor membantu mengidentifikasi dan menyusun situasi dari pengalaman yang tingkat kecemasannya rendah sampai yang tertinggi. Setelah klien benar-benar rileks, konselor dapat memulai teknik terapeutik dengan cara meminta klien memejamkan matanya dan konselor mulai menggambarkan seri-seri adegan dan meminta klien untuk membayangkan dirinya dalam setiap adegan tersebut. Konselor bergerak secara progresif ke hierarki sampai klien memberikan tanda mengalami kegelisahan. Adegan dihentikan apabila klien mampu tetap rilek dalam reinforcement yang sebelumnya dianggap menggelisahkan.
e.    Satiation, yaitu proses memberikan reinforcement yang berlebihan sehingga reinforcement kehilangan nilainya sebagai penguat. Satiation dapat dilakukan dengan membanjiri klien dengan stimulus yang sama hingga stimulus tidak lagi direspon.














KEPUSTAKAAN

Miharja. 2010. Konseling Behavioristik.(onlin) (http://miharjauin.blogspot.com, diakses  (On line) diakses 29 April 2014.
Prayitno. 1998. Konseling Pancawaskita: Kerangka Konseling Eklektik. Padang: FIP UNP.
Taufik. 2009. Model-Model Konseling. Padang: FIP UNP









2 komentar: