KONSELING
TRAUMA (TRAUMATIC COUNSELING)
A.
Pengertian
Traumatic Counseling
Trauma berasal dari
kata Yunani yaitu “tramatos” yang berarti luka dari sumber luar. Tetapi kata
trauma bisa juga luka sumber dalaman yaitu luka emosi, rohani, dan fisik yang disebabkan
oleh keadaan yang mengancam diri kita. Gejala akibat trauma sangat beragam dan
membingungkan. Trauma meninmbulkan kepedihan dan penderitaan yang bisa
berkepanjangan.
Sutirna (2013: 29)
mengatakan konseling traumatic adalah upaya konselor untuk membantu klien yang
mengalami trauma melalui proses hubungan pribadi sehingga klien dapat memahami
diri sehubungan dengan masalah trauma yang dialaminya dan berusaha untuk
mengatasinya sebaiknya mungkin.
Kata trauma digunakan
untuk menggambarkan kejadia atau situasi yang dialami oleh korban. Kejadian
atau pengalaman traumatic akan dihayati secara berbeda – beda antara individu
yang satu dengan lainnya, sehingga setiap orang aka memiliki reaksi yag berbeda
pula pada saat menghadapi kejadia yang traumatic. Pengalamn traumatic adalah
suatu kejadia yang dialami atau disaksikan oleh individu, yang mengancam
keselamatan dirinya. Oleh sebab itu, merupakan suatu hal yang wajar ketika
seseorang mengalami shock baik secara
fisik maupun emosional sebagai suatu reaksi stress atas kejadian traumatic
tersebut.
Kadangkala efek aftershock ini baru terjadi setelah
beberapa jam, hari, atau bahkan berminggu – minggu. Respon individual yang
terjadi umumnya adalah perasaan takut, tidak berdaya, atau merasa ngeri. Gejala
dan simtom yang muncul tergantung pada seberapa parah kejadian tersebut.
Demikian pula cara individu menghadapi krisis tersebut akan tergantung pula
pada pengalaman dan sejarah masa lalu mereka.
Stress traumatic
merupakan suatu reaksi yang alamiah terhadap peristiwa yang mengandung
kekerasan (seperti kekerasan kelompok, pemerkosaan, kecelakaan, dan bencana
alam) atau kondisi dalam kehidupan yang mengerikan (seperti kemiskinan,
deprivasi, dll). Kondisi tersebut disebut juga dengan stress pasca traumatic
(atau Post Traumatis Stress Disorder/ PTSD).
Jadi, konseling
traumatic adalah kebutuhan mendesak untuk membantu mengatasi beban psikologis
yag diderita akibat bencana maupun hal yang lainnya. Guncangan psikologis yang
dahsyat akibat kehilangan orang – orang yang dicintai, kehilangan sanak
keluarga, dan kehilangan pekerjaan, bisa mempengaruhi kestabilan emosi para
korban. Mereka yang tidak kuat mentalnya dan tidak tabah menghadapi petaka bisa
mengalami guncangan jiwa yang dahsyat dan berujung pada stress berat yang sewaktu
– waktu bisa menjadi mereka lupa ingatan atau gila.
Konseling traumatic adalah upaya
klien dapat memahami diri sehubungan dengan masalah trauma yang dialaminya dan
berusaha untuk mengatasinya sebaik mungkin. Oleh sebab itu, konseling traumatic
dapat membantu menata kestabilan emosinya sehingga mereka bisa menerima
kenyataan hidup sebagaimana adanya meskipun dalam kondisi yang sulit. Konseling
traumatic juga sangat bermanfaat untuk membantu penderita trauma untuk lebih
mampu mengelola emosinya secara benar dan berpikir realistic.
B.
Tujuan
Trauma Counseling
Adapun tujuan konseling
trauma menurut Sutirna (2013: 30) yaitu lebih menekankan pada pulihnya kembali
klien pada keadaan sebelum trauma dan mampu menyesuaikan diri dengan keadaan
lingkungan yang baru. Selain itu, tujuan konseling trauma adalah:
1.
Berpikir realistis, bahwa trauma adalah
bagian dari kehidupan
2.
Memperoleh pemahaman tentang peristiwa
dan situasi yang menimbulkan trauma
3.
Memahami dan menerima perasaan yang
berhubungan dengan trauma
4.
Belajar keterampilan baru untuk
mengatasi trauma
C.
Karakteristik
Konseling Trauma
Ada beberapa ciri
trauma, yaitu:
1. Disebabkan
oleh kejadia dahsyat yang mengguncang di luar rencana dan kemauan kita
2. Kejadian
itu sudah berlaku
3. Terjadi
mekanisme psikofisik: kalau tidak melawan maka saya akan binasa
4. Sensitive
terhadap stimulus yang menyerupai kejadian asli
Contohnya, korban gempa
hanya mendengar bunyi tertentu saja maka dia akan ketakutan karena ia secara
otomatis mengasosiasikan bunyi itu dengan kejadian yang mengguncang dirinya.
Konseling dapat digunakan membantu menyembuhkan trauma tersebut. Konseling
traumatic sangat berbeda dengan konseling biasa dilakukan oleh konselor,
perbedaan ini terletak pada waktu, fokus, aktivitas, dan tujuan.
Konseling traumatic
berbeda dengan konseling biasa menurut Sutirna (2013:30) yaitu:
1.
Waktu: Konseling traumatic umumnya
memerlukan waktu lebih pendek dibanding
dengan biasa. Waktunya hingga 6 sesi
konseling biasa, memerlukan waktu 1 – 20 sesi
2.
Fokus: Konseling traumatic lebih
memerhatikan pada satu masalah yaitu trauma yang
Terjadi dan dirasakan, konseling biasa
umumnya suka menghubungkan 1 masalah dengan masalah lainnya
3.
Aktivitas : Konseling traumatic lebih
melibatkan banyak orang dalam membantu klien
dan yang lebih banyak aktif adalah
konselor. Konsleor berusaha untuk mengarahkan, menyugesti, member saran,
mencari dukungan dari keluarga dan teman klien, menghubungi orang yang lebih
ahli untuk menanganinya, menghubungkan klien dengan ahli lain, melibatkan
orang/ agen lain yang kompeten secara legal membantu klien, dan mengusulkan
berbagai perubahan lingkungan untuk kesembuhan klien.
D.
Identifikasi
Trauma
adalah keadaan jiwa atau tingkah laku yang tidak normal sebagai akibat dari
tekanan jiwa atau cedera jasmani. Selain itu trauma juga dapat diartikan
sebagai luka yang ditimbulkan oleh faktor external. Jiwa yang timbul akibat
peristiwa traumatik. Peristiwa traumatik bisa sekali dialami, bertahan dalam
jangka lama, atau berulang-ulang dialami oleh penderita. Trauma psikologis bisa
juga timbul akibat trauma fisik atau tanpa ada trauma fisik sekalipun. Penyebab
trauma psikologis antara lain pelecehan seksual, kekerasan, ancaman, atau
bencana. Namun tidak semua penyebab tersebut punya efek sama terhadap tiap
orang. Ada orang yang bisa mengatasi masalah tersebut, namun ada pula yang
tidak bisa mengatasi emosi dan ingatan pada peristiwa traumatik yang dialami (http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/trauma.html).
Penyebab
dari trauma meliputi 2 faktor, yaitu :
1.
Faktor
Internal (Psikologis)
Bentuk
gangguan dan kekacauan fungsi mental, atau kesehatan mental yang disebabkan
oleh kegagalan bereaksinya mekanisme adaptasi dari fungsi-fungsi kejiwaan
terhadap stimuli ekstern dan ketegangan-ketegangan, sehingga muncul gangguan
fungsi atau gangguan struktur dari satu bagian, satu organ, atau sistem kejiwaan/mental.
Merupakan totalitas kesatuan ekspresi proses kejiwaan/mental yang patologis
terhadap stimuli sosial, dikombinasikan dengan faktor-faktor kausatif sekunder
lainnya (patalogi=ilmu penyakit).
Secara
sederhana, Trauma dapat dirumuskan sebagai gangguan kejiwaan akiba ketidak
mampuan seseorang mengatasi persoalan hidup yang harus dijalaninya, sehingga
yang bersangkuan bertingkah secara kurang wajar.
Sebab-sebab
timbulnya trauma, yaitu :
•
Kepribadian yang lemah atau kurang
percaya diri sehingga menyebabkan yang bersangkutan merasa rendah diri
(orang-orang melankolis).
•
Terjadinya konflik sosial-budaya akibat
dari adanya norma yang berbeda antara dirinya dengan lingkungan masyarakat.
•
Pemahaman yang salah sehingga memberikan
reaksi berlebihan terhadap kehidupan sosial (overacting) dan juga sebaliknya
terlalu rendah diri (underacting).
Proses-proses
yang diambil oleh sesorang dalam menghadapii kekalutan mental, sehingga
mendorongnya kearah :
•
Positif, bila trauma (luka jiwa) yang
dialami seseorang, akan disikapi untuk mengambil hikmah dari kesulitan yang
dihadapinya, setelah mencari jalan keluar maksimal, tetapi belum mendapatkannya
tetapi dikembalikan kepada sang pencipta yaitu Allah SWT, dan bertekad untuk
tidak terulang kembali dilain waktu.
•
Negatif, bila trauma yang dialami tidak
dapat dihilangkan, sehingga yang bersangkutan mengalami frustasi, yaitu tekanan
batin akibat tidak tercapainya apa yang dicita-citakan.
Contohnya
:
1.
Agresi, yaitu : Meluapkan rasa emosi
yang tidak terkendali dan cenderung melakukan tindakan sadis yang dapat
mambahayakan orang lain.
2.
Regresi, yaitu : Pola reaksi yang
primitif atau kekanak-kanakan (menjerit atau menangis)
3.
Fiksasi, yaitu : Pembatasan pada satu
pola yang sama (membisu atau memukul dada sendiri)
4.
Proyeksi, yaitu : Melemparkan atau
memproyeksikan sikap-sikap sendiri yang negatif pada orang lain.
5.
Indentifikasi, yaitu : Menyamakan diri
dengan sesorang yang sukses dalam imajinasi, (kecantikan atau dengan bintang)
6.
Narsisme, self love yaitu : Merasa
dirinya lebih dari orang lain.
Autisme yaitu : Menutup diri dari dunia luar dan tidak puas dengan fantasinya sendiri.
Penderita Trauma lebih banyak terdapat dalam lingkungan ;
Autisme yaitu : Menutup diri dari dunia luar dan tidak puas dengan fantasinya sendiri.
Penderita Trauma lebih banyak terdapat dalam lingkungan ;
ü Kota-kota
besar yang banyak memberikan tantangan hidup yang berat dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya.
ü Anak-anak
usia muda tidak berhasil dalam mencapai apa yang dikehendakinya.
Para korban bencana alam dan di tempat-tempat konflik, karena setres terhadap harta bendanya yang hilang.
Para korban bencana alam dan di tempat-tempat konflik, karena setres terhadap harta bendanya yang hilang.
2.Faktor Eksternal (Fisik)
•
Faktor orang tua dalam bersosialisasi
dalam kehidupan keluarga, terjadinya penganiyayaan yang menjadikan luka atau
trauma fisik.
•
Kejahatan atau perbuatan yang tidak
bertanggung jawab yang mengakibat kan trauma Fisik dalam bentuk luka pada badan
dan organ pada tubuh korban.
E.
Proses
dan Tahapan dalam Konseling Traumatik
1.
Tahap Awal Konseling (Penghantaran)
Pada tahap awal konseling ini, konselor harus
fokus pada usaha membentuk relasi dengan klien. Ini mencakup usaha melibatkan
klien pada suatu kerja sama untuk memulai proses konseling sehingga
sasaran-sasaran konseling dapat tercapai. Apa pun nama yang kita berikan pada
relasi kerja sama itu, sasarannya adalah agar konselor bisa masuk dalam
kehidupan klien untuk membantu dan mengarahkannya pada solusi efektif atas
masalah-masalahnya. Inilah tugas konselor dalam pertemuan pertama.
2. Tahap
Kerja Konseling (Penjelajahan, Penafsiran, Pembinaan)
a.
Penjelajahan
Menurut Prayitno (1998:24) sasaran penjajagan
adalah hal-hal yang dikemukakan klien dan hal-hal lain yang perlu dipahami
tentang diri klien. Dalam konseling traumatik, konselor menggali semua hal yang
dikemukakan oleh klien. Pada tahap ini, merupakan tahap krisis bagi klien yaitu
kesukaran dalam mengemukakan pendapat dan melakukan transferensi. Oleh karena
itu konselor harus mampu membawa klien agar dapat mengungkapkan segala perasaan
dan kondisi psikologis yang dirasakannya.
Selain itu, pada tahap ini konselor juga perlu
menilik terhadap masa lalu klien terutama pada masa kanak-kanaknya. Hal ini
akan membantu konselor dalam menafsirkan permasalahan yang dialami oleh klien.
b.
Penafsiran
Menurut Prayitno (1998:25) pada tahap
penafsiran ini, konselor mencoba menafsirkan apa faktor penyebab permasalahan
yang dialami oleh klien. Dari pemahaman konselor tentang faktor penyebab
tersebut, konselor dapat memberikan solusi dari permasalahan klien. Dalam
konseling traumatik, konselor menafsirkan bagaimana penyebab terjadinya trauma
pada klien.
c.
Pembinaan
Menurut Prayitno (1998:26) tahap pembinaan
merupakan tahap merubah perilaku apa yang hendaknya dirubah oleh klien. Dalam
konseling traumatik, hal-hal yang perlu perlu dilakukan oleh konselor adalah
pengembangan resistensi untuk pemahaman diri klien. Selanjutnya, konselor perlu
mengembangkan hubungan transferensi antara klien dengan konselor.
Transferensi adalah apabila klien menghidupkan
kembali pengalaman dan konflik masa lalu yang berhubungan dengan cinta,
seksualitas, kebencian, kecemasan, yang oleh klien dibawa ke masa sekarang dan
dilemparkan kepada konselor. Biasanya klien bisa membenci atau mencintai
konselor.
3. Tahap
Pengakhiran Konseling
Dalam tahap pengakhiran konseling ini,
konselor perlu melakukan penilaian terhadap proses konseling yang telah dilaksanakan.
Komselor perlu melihat apakah klien sudah memahami apa yang diberikan selama
proses konseling, bagaimana perasaan klien setelah adanya proses konseling
serta hal-hal apa saja yang akan dilakukan oleh klien setelah adanya proses
konseling.
KEPUSTAKAAN
Sutirna. 2013. Bimbingan Konseling: Pendidikan Formal,
Nonformal, dan Informal. Yogyakarta: CV. Andi OFFSET
Tidak ada komentar:
Posting Komentar