Entri Populer

Kamis, 06 November 2014

Konseling Traumatic

KONSELING TRAUMA (TRAUMATIC COUNSELING)

A.    Pengertian Traumatic Counseling
Trauma berasal dari kata Yunani yaitu “tramatos” yang berarti luka dari sumber luar. Tetapi kata trauma bisa juga luka sumber dalaman yaitu luka emosi, rohani, dan fisik yang disebabkan oleh keadaan yang mengancam diri kita. Gejala akibat trauma sangat beragam dan membingungkan. Trauma meninmbulkan kepedihan dan penderitaan yang bisa berkepanjangan.
Sutirna (2013: 29) mengatakan konseling traumatic adalah upaya konselor untuk membantu klien yang mengalami trauma melalui proses hubungan pribadi sehingga klien dapat memahami diri sehubungan dengan masalah trauma yang dialaminya dan berusaha untuk mengatasinya sebaiknya mungkin.
Kata trauma digunakan untuk menggambarkan kejadia atau situasi yang dialami oleh korban. Kejadian atau pengalaman traumatic akan dihayati secara berbeda – beda antara individu yang satu dengan lainnya, sehingga setiap orang aka memiliki reaksi yag berbeda pula pada saat menghadapi kejadia yang traumatic. Pengalamn traumatic adalah suatu kejadia yang dialami atau disaksikan oleh individu, yang mengancam keselamatan dirinya. Oleh sebab itu, merupakan suatu hal yang wajar ketika seseorang mengalami shock baik secara fisik maupun emosional sebagai suatu reaksi stress atas kejadian traumatic tersebut.
Kadangkala efek aftershock ini baru terjadi setelah beberapa jam, hari, atau bahkan berminggu – minggu. Respon individual yang terjadi umumnya adalah perasaan takut, tidak berdaya, atau merasa ngeri. Gejala dan simtom yang muncul tergantung pada seberapa parah kejadian tersebut. Demikian pula cara individu menghadapi krisis tersebut akan tergantung pula pada pengalaman dan sejarah masa lalu mereka.
Stress traumatic merupakan suatu reaksi yang alamiah terhadap peristiwa yang mengandung kekerasan (seperti kekerasan kelompok, pemerkosaan, kecelakaan, dan bencana alam) atau kondisi dalam kehidupan yang mengerikan (seperti kemiskinan, deprivasi, dll). Kondisi tersebut disebut juga dengan stress pasca traumatic (atau Post Traumatis Stress Disorder/ PTSD).
Jadi, konseling traumatic adalah kebutuhan mendesak untuk membantu mengatasi beban psikologis yag diderita akibat bencana maupun hal yang lainnya. Guncangan psikologis yang dahsyat akibat kehilangan orang – orang yang dicintai, kehilangan sanak keluarga, dan kehilangan pekerjaan, bisa mempengaruhi kestabilan emosi para korban. Mereka yang tidak kuat mentalnya dan tidak tabah menghadapi petaka bisa mengalami guncangan jiwa yang dahsyat dan berujung pada stress berat yang sewaktu – waktu bisa menjadi mereka lupa ingatan atau gila.
Konseling traumatic adalah upaya klien dapat memahami diri sehubungan dengan masalah trauma yang dialaminya dan berusaha untuk mengatasinya sebaik mungkin. Oleh sebab itu, konseling traumatic dapat membantu menata kestabilan emosinya sehingga mereka bisa menerima kenyataan hidup sebagaimana adanya meskipun dalam kondisi yang sulit. Konseling traumatic juga sangat bermanfaat untuk membantu penderita trauma untuk lebih mampu mengelola emosinya secara benar dan berpikir realistic.

B.     Tujuan Trauma Counseling
Adapun tujuan konseling trauma menurut Sutirna (2013: 30) yaitu lebih menekankan pada pulihnya kembali klien pada keadaan sebelum trauma dan mampu menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan yang baru. Selain itu, tujuan konseling trauma adalah:
1.      Berpikir realistis, bahwa trauma adalah bagian dari kehidupan
2.      Memperoleh pemahaman tentang peristiwa dan situasi yang menimbulkan trauma
3.      Memahami dan menerima perasaan yang berhubungan dengan trauma
4.      Belajar keterampilan baru untuk mengatasi trauma

C.    Karakteristik Konseling Trauma
Ada beberapa ciri trauma, yaitu:
1.      Disebabkan oleh kejadia dahsyat yang mengguncang di luar rencana dan kemauan kita
2.      Kejadian itu sudah berlaku
3.      Terjadi mekanisme psikofisik: kalau tidak melawan maka saya akan binasa
4.      Sensitive terhadap stimulus yang menyerupai kejadian asli
Contohnya, korban gempa hanya mendengar bunyi tertentu saja maka dia akan ketakutan karena ia secara otomatis mengasosiasikan bunyi itu dengan kejadian yang mengguncang dirinya. Konseling dapat digunakan membantu menyembuhkan trauma tersebut. Konseling traumatic sangat berbeda dengan konseling biasa dilakukan oleh konselor, perbedaan ini terletak pada waktu, fokus, aktivitas, dan tujuan.
Konseling traumatic berbeda dengan konseling biasa menurut Sutirna (2013:30) yaitu:
1.      Waktu: Konseling traumatic umumnya memerlukan waktu lebih pendek dibanding
dengan biasa. Waktunya hingga 6 sesi konseling biasa, memerlukan waktu 1 – 20 sesi
2.      Fokus: Konseling traumatic lebih memerhatikan pada satu masalah yaitu trauma yang
Terjadi dan dirasakan, konseling biasa umumnya suka menghubungkan 1 masalah dengan masalah lainnya
3.      Aktivitas : Konseling traumatic lebih melibatkan banyak orang dalam membantu klien
dan yang lebih banyak aktif adalah konselor. Konsleor berusaha untuk mengarahkan, menyugesti, member saran, mencari dukungan dari keluarga dan teman klien, menghubungi orang yang lebih ahli untuk menanganinya, menghubungkan klien dengan ahli lain, melibatkan orang/ agen lain yang kompeten secara legal membantu klien, dan mengusulkan berbagai perubahan lingkungan untuk kesembuhan klien.

D.    Identifikasi
Trauma adalah keadaan jiwa atau tingkah laku yang tidak normal sebagai akibat dari tekanan jiwa atau cedera jasmani. Selain itu trauma juga dapat diartikan sebagai luka yang ditimbulkan oleh faktor external. Jiwa yang timbul akibat peristiwa traumatik. Peristiwa traumatik bisa sekali dialami, bertahan dalam jangka lama, atau berulang-ulang dialami oleh penderita. Trauma psikologis bisa juga timbul akibat trauma fisik atau tanpa ada trauma fisik sekalipun. Penyebab trauma psikologis antara lain pelecehan seksual, kekerasan, ancaman, atau bencana. Namun tidak semua penyebab tersebut punya efek sama terhadap tiap orang. Ada orang yang bisa mengatasi masalah tersebut, namun ada pula yang tidak bisa mengatasi emosi dan ingatan pada peristiwa traumatik yang dialami (http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/trauma.html).


Penyebab dari trauma meliputi 2 faktor, yaitu :
1.      Faktor Internal (Psikologis)
Bentuk gangguan dan kekacauan fungsi mental, atau kesehatan mental yang disebabkan oleh kegagalan bereaksinya mekanisme adaptasi dari fungsi-fungsi kejiwaan terhadap stimuli ekstern dan ketegangan-ketegangan, sehingga muncul gangguan fungsi atau gangguan struktur dari satu bagian, satu organ, atau sistem kejiwaan/mental. Merupakan totalitas kesatuan ekspresi proses kejiwaan/mental yang patologis terhadap stimuli sosial, dikombinasikan dengan faktor-faktor kausatif sekunder lainnya (patalogi=ilmu penyakit).
Secara sederhana, Trauma dapat dirumuskan sebagai gangguan kejiwaan akiba ketidak mampuan seseorang mengatasi persoalan hidup yang harus dijalaninya, sehingga yang bersangkuan bertingkah secara kurang wajar.
Sebab-sebab timbulnya trauma, yaitu :
        Kepribadian yang lemah atau kurang percaya diri sehingga menyebabkan yang bersangkutan merasa rendah diri (orang-orang melankolis).
        Terjadinya konflik sosial-budaya akibat dari adanya norma yang berbeda antara dirinya dengan lingkungan masyarakat.
        Pemahaman yang salah sehingga memberikan reaksi berlebihan terhadap kehidupan sosial (overacting) dan juga sebaliknya terlalu rendah diri (underacting).
Proses-proses yang diambil oleh sesorang dalam menghadapii kekalutan mental, sehingga mendorongnya kearah :
        Positif, bila trauma (luka jiwa) yang dialami seseorang, akan disikapi untuk mengambil hikmah dari kesulitan yang dihadapinya, setelah mencari jalan keluar maksimal, tetapi belum mendapatkannya tetapi dikembalikan kepada sang pencipta yaitu Allah SWT, dan bertekad untuk tidak terulang kembali dilain waktu.
        Negatif, bila trauma yang dialami tidak dapat dihilangkan, sehingga yang bersangkutan mengalami frustasi, yaitu tekanan batin akibat tidak tercapainya apa yang dicita-citakan.
Contohnya :
1.      Agresi, yaitu : Meluapkan rasa emosi yang tidak terkendali dan cenderung melakukan tindakan sadis yang dapat mambahayakan orang lain.
2.      Regresi, yaitu : Pola reaksi yang primitif atau kekanak-kanakan (menjerit atau menangis)
3.      Fiksasi, yaitu : Pembatasan pada satu pola yang sama (membisu atau memukul dada sendiri)
4.      Proyeksi, yaitu : Melemparkan atau memproyeksikan sikap-sikap sendiri yang negatif pada orang lain.
5.      Indentifikasi, yaitu : Menyamakan diri dengan sesorang yang sukses dalam imajinasi, (kecantikan atau dengan bintang)
6.      Narsisme, self love yaitu : Merasa dirinya lebih dari orang lain.
Autisme yaitu : Menutup diri dari dunia luar dan tidak puas dengan fantasinya sendiri.
Penderita Trauma lebih banyak terdapat dalam lingkungan ;
ü  Kota-kota besar yang banyak memberikan tantangan hidup yang berat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
ü  Anak-anak usia muda tidak berhasil dalam mencapai apa yang dikehendakinya.
Para korban bencana alam dan di tempat-tempat konflik, karena setres terhadap harta bendanya yang hilang.

2.Faktor Eksternal (Fisik)
        Faktor orang tua dalam bersosialisasi dalam kehidupan keluarga, terjadinya penganiyayaan yang menjadikan luka atau trauma fisik.
        Kejahatan atau perbuatan yang tidak bertanggung jawab yang mengakibat kan trauma Fisik dalam bentuk luka pada badan dan organ pada tubuh korban.

E.     Proses dan Tahapan dalam Konseling Traumatik
1.      Tahap Awal Konseling (Penghantaran)
Pada tahap awal konseling ini, konselor harus fokus pada usaha membentuk relasi dengan klien. Ini mencakup usaha melibatkan klien pada suatu kerja sama untuk memulai proses konseling sehingga sasaran-sasaran konseling dapat tercapai. Apa pun nama yang kita berikan pada relasi kerja sama itu, sasarannya adalah agar konselor bisa masuk dalam kehidupan klien untuk membantu dan mengarahkannya pada solusi efektif atas masalah-masalahnya. Inilah tugas konselor dalam pertemuan pertama.
2.      Tahap Kerja Konseling (Penjelajahan, Penafsiran, Pembinaan)
a.      Penjelajahan
Menurut Prayitno (1998:24) sasaran penjajagan adalah hal-hal yang dikemukakan klien dan hal-hal lain yang perlu dipahami tentang diri klien. Dalam konseling traumatik, konselor menggali semua hal yang dikemukakan oleh klien. Pada tahap ini, merupakan tahap krisis bagi klien yaitu kesukaran dalam mengemukakan pendapat dan melakukan transferensi. Oleh karena itu konselor harus mampu membawa klien agar dapat mengungkapkan segala perasaan dan kondisi psikologis yang dirasakannya. 
Selain itu, pada tahap ini konselor juga perlu menilik terhadap masa lalu klien terutama pada masa kanak-kanaknya. Hal ini akan membantu konselor dalam menafsirkan permasalahan yang dialami oleh klien.
b.      Penafsiran
Menurut Prayitno (1998:25) pada tahap penafsiran ini, konselor mencoba menafsirkan apa faktor penyebab permasalahan yang dialami oleh klien. Dari pemahaman konselor tentang faktor penyebab tersebut, konselor dapat memberikan solusi dari permasalahan klien. Dalam konseling traumatik, konselor menafsirkan bagaimana penyebab terjadinya trauma pada klien.
c.       Pembinaan
Menurut Prayitno (1998:26) tahap pembinaan merupakan tahap merubah perilaku apa yang hendaknya dirubah oleh klien. Dalam konseling traumatik, hal-hal yang perlu perlu dilakukan oleh konselor adalah pengembangan resistensi untuk pemahaman diri klien. Selanjutnya, konselor perlu mengembangkan hubungan transferensi antara klien dengan konselor.
Transferensi adalah apabila klien menghidupkan kembali pengalaman dan konflik masa lalu yang berhubungan dengan cinta, seksualitas, kebencian, kecemasan, yang oleh klien dibawa ke masa sekarang dan dilemparkan kepada konselor. Biasanya klien bisa membenci atau mencintai konselor.

3.      Tahap Pengakhiran Konseling
Dalam tahap pengakhiran konseling ini, konselor perlu melakukan penilaian terhadap proses konseling yang telah dilaksanakan. Komselor perlu melihat apakah klien sudah memahami apa yang diberikan selama proses konseling, bagaimana perasaan klien setelah adanya proses konseling serta hal-hal apa saja yang akan dilakukan oleh klien setelah adanya proses konseling.
































KEPUSTAKAAN


Sutirna. 2013. Bimbingan Konseling: Pendidikan Formal, Nonformal, dan Informal. Yogyakarta: CV. Andi OFFSET

Tidak ada komentar:

Posting Komentar