KONSELING
EGO (KONEGO)
A.
Pengantar
Konseling Ego
Konseling ego
dipopulerkan oleh Erickson. Konseling ego memiliki ciri khas yang lebih
menekankan fungsi ego. Kegiata konseling yang dilakukan pada umumnya bertujuan
untuk memperkuat ego strength, yang
berarti melatih kekuatan ego klien. Seringkali orag yang bermasalah adalah
orang yang memiliki ego yang lemah. Misalnya, orang yang rendah diri, dan tidak
bisa mengambil pekutusan secara tepat dikarenakan ia tidak mampu memfungsikan
egonya secara penuh, baik untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, meraih keinginannya.
Perbedaan ego menurut Freud dengan ego menurut Erickson adalah menurut Freud
ego tumbuh dari id, sedangkan menurut Erickson ego tumbuh sendiri yang menjadi
kepribadian seseorang (Zainal Hakim, 2014)
Kemudian, Zainal Hakim
(2014) juga menyebutkan tujuan konseling menurut Erickson adalah memfungsikan
ego klien secara penuh. Tujuan lainnya adalah melakukan perubahan – perubahan
pada diri klien sehingga terbentuk coping
behavior yang dikehendaki dan dapat terbina agar klien itu menjadi lebih
kuat. Ego yang baik adalah ego yang kuat, yaitu yang dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungan dengan dimana dia berada.
Model konseling ego,
psikologi individual dan biasa juga disebut Psikologi dalam. Kesemua model ini
pada dasarnya mempunyai kesamaan yang besar dengan pandangan Psikoanalisis Klasik
(Taufik, 2012: 45). Kesamaan itu antara lain adalah: pertama, mementingkan
kehidupan anak di bawah lima tahun atau balita, kedua, sama – sama mempergunakan konsep ego, dan ketiga sama – sama mementingkan konsep
kesadaran, bawah sadar dan ketidaksadaran.
Pada dasarnya kegiatan
konseling adalah usaha memperkuat “ego
strength” yang artinya kekuatan ego. Dengan demikian orang yang bermasalah
adalah orang yang memiliki ego yang lemah.
Perbedaan antara ego
menurut pandangan Psikoanalisis Sigmund Freud dengan ego menurut pandangan
Psikoanalisis baru adalah ego itu tumbuh dari id atau merupakan kelanjutan
daripada id sedangka menurut Psikoanalisis baru, ego itu tidak terikat pada id,
jadi tumbuh sendiri yang merupakan keseluruhan kepribadian. Ego itulah yang
tumbuh dan menjadi kepribadian seseorang. Jenis ego baur ini disebutnya juga
dengan ego kreatif.
B.
Asumsi
tentang Manusia
1.
Tahap
Perkembangan Kepribadian
Erikson (dalam Taufik,
2012: 48) lebih menekankan pada pembahasan perkembangan psikososial. Dalam
teorinya, Erikson (dalam Taufik, 2012: 49 – 57) merumuskan ciri – ciri
perkembangan kepribadian menjadi delapan tahap, yaitu:
1.
Masa Bayi Awal (0 – 1 tahun)
Perkembangan
yang sukses ditandai dengan sifat percaya. Jika anak memperoleh kasih sayang
yang cukup dari orang tuanya dan kebutuhan terpenuhi dengan baik. Perkembangan
yang gagal jika pada masa ini anak sering diterlantarkan dan dikasari oleh
orang tua, maka dalam dirinya akan berkembang sikap tidak percaya.
2.
Masa Bayi Akhir (1 – 3 tahun)
Perkembangan
yang sukses ditandai oleh adanya otonomi sedangkan perkembangan yang gagal
ditandai oleh adanya perasaan ragu – ragu dan malu. Pada usia ini anak perlu
mendapat kesempatan untuk melakukan kesalahan dan belajar dari kesalahannya
itu. Jika orang tua terlalu berbuat banyak untuk kepentingan anak, hal ini
dapat menghambat otonomi dan merusak kemampuan mereka untuk menghadapi dunia
secara berhasil. Sikap orang tua yang cenderung melarang, memarahi, dan
menyesali perbuatan anaknya akan menumbuh kembangkan perasaan ragu – ragu dan
malu baik pada masa sekarag maupun pada tahap perkembangan selanjutnya.
3.
Masa Kanak – kanak Awal (3 – 5 tahun)
Perkembangan
yang sukses ditandai oleh adanya inisiatif. Sedangkan perkembangan yang gagal
ditandai dengan adanya perasaan bersalah. Menurut Erikson tugas individu pada
masa ini adalah membentuk rasa memiliki kemampuan dan inisiatif. Sikap yang
sebaiknya diambil oleh orang tua dalam mendidik adalah senantiasa memberikan
kesempatan kepada anak untuk beraktualisasi diri dengan berbagai percobaan yang
ingin mereka lakukan dan jika merangsang mereka untuk melakukan berbagai jenis
percobaan walau menunjukkan hasil yang minimal.
4.
Masa Kanak – kanak Pertengahan ( 6 – 11
tahun)
Taufik
(2012: 52) perkembangan yang sukses ditandai dengan menghasilkan, sedangkan
perkembangan yang gagal ditandai dengan rasa rendah diri. Anak yang sukses
menjalani perkembangannya sudah mau melakukan sesuatu, contohnya menyapu rumah,
mengerjakan PR, dan membersihkan sepatu sendiri. Kewajiban melakukan hal
tersebut menjadi ciri sukses yang disebut dengan mampu menghasilkan
tanggungjawab. Sebaliknya, anak yang kurang beruntung mengalami rendah diri,
misalnya takut ke sekolah, takut bernyanyi, dan kecenderungan merajuk. Anak –
anak pada tahap ini mempunyai tugas untuk membentuk nilai – nilai pribadi dairi
dalam kegiatan sosial, belajar menerima dan memahami orang lain. Kegagalan pada
masa ini akan membentuk rasa ketidakmampuan sebagai seorang dewasa kelas, dan
tahap perkembangan selanjutnya akan mengarah negative.
5.
Masa Puber dan Remaja (12 – 20 tahun)
Perkembangan
yang sukses ditandai dengan kemampuan mengenal identitas dirinya sendiri.
Perkembangan yang gagal ditandai kebingungan baik dalam peran gender, bingung
dengan keadaan diri dan cita – cita dimasa depan. Menurut Erikson, krisis utama
yang sering terjadi pada masa ini adalah krisis identitas yang terhadap
perkembangan individu di masa dewasa. Remaja yang gagal dalam menentukan
dirinya akan cenderung mengalami konflik pera, kehilangan tujuan dan arah
hidupnya.
6.
Masa Dewasa Awal (21 – 30 tahun)
Perkembangan
yang sukses ditandai dengan adanya keintiman, sedangkan perkembangan yang gagal
ditandai oleh isolasi. Intim yang dimaksud adalah memiliki kemampuan yang baik
untuk akrab dengan orang lain dan tidak menyukai sendiri. Perkembangan yang
baik pada masa ini ditandai dengan adanya kematangan untuk memasuki lembaga
perkawinan. Sebaliknya orang yang suka menyendiri sebenarnya ia sedang berada
dalam kekacauan perkembangan. Ketidakpercayaan terhadap orang lain serta
ketidakberanian untuk bekerja sama membuat individu tersebut untuk mengurung
diri, mengalami kesukaran dalam membina rumah tangga yang harmonis dan kesulita
bekerja bersama orang lain.
7.
Masa Dewasa Pertengahan (30 – 55 tahun)
Perkembangan
yang sukses ditandai dengan adanya keaktifan dalam berbagai bidang secara umum.
Secara umum individu yang berada pada masa ini mampu melibatkan diri secara
luas yang diwujudkan dalam bentuk kemampuan untuk mengasihi secara baik,
bekerja baik, dan bersahabat. Inilah yang disebut dengan kedewasaan dan
kematangan secara penuh. Individu yang sukses akan mampu berprestasi dengan
baik pada bidang yang ditekuninya. Pada tahap ini sudah mencapai kematangan
yang sempurna baik secara sosial, ekonomi, emosi, dan intelektual.
8. Masa dewasa akhir (55 tahun ke atas)
Perkembangan yang sukses ditandai dengan keterpaduan dan
perkembangan yang gagal ditandai dengan keputusasaan. Sukses yang terpadu
maksudnya apa yang dilakukannya sudah dapat dimaknainya dengan baik, misalnya
jika sudah memiliki cucu, dia akan sayang pada cucu dan menantunya. Sebaliknya
perkembangan yang gagal cenderung membenci menantu dan cucu serta banyak
penyesalan.
2. Proses
Perkembangan Kepribadian
Erikson (dalam Taufik, 2012: 58 –
59) membagi atas empat tahapan sebagai berikut :
a. Ego berkembang atas kekuatan dirinya
sendiri.
b. Pertumbuhan ego yang normal adalah
dengan berkembangnya keterampilan anak dalam berkomunikasi. Karena melalui
komunikasi individu dapat mengukur dan menilai tingkah lakunya berdasarkan
reaksi dari orang lain.
c. Perkembangan bahasa juga menambah
keterampilan individu untuk membedakan suatu objek dalam lingkungan dengan
bahasa individu mampu berkomunikasi dengan orang lain.
d. Kepribadian individu berkembang
terus menerus melalui proses hubungan dirinya dengan dunia luar atau
lingkungannya (adanya keterkaitan antara hubungan yang satu dengan yang lain).
Dalam berkomunikasi dengan
lingkungannya ada empat aspek yang perlu diperhatikan, yaitu :
·
Individu
belajar membedakan suatu objek dengan objek yang lainnya.
·
Individu
harus bisa melibatkan diri dengan lingkungan yang spesial yang makin lama makin
meluas dan makin mendalam.
·
Proses
sosialisasi, maksudnya adalah berhubungan dengan orang lain, dengan adanya
hubungan dengan orang lain individu dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang
diharapkan oleh lingkungan sosialnya.
·
Perkembangan
kepribadian yang baik apabila kepribadian itu mengarah kepada pembentukan “coping
behavior”. Coping behavior adalah kemampuan atau tingkah laku
individu yang dapat menangani suatu masalah secara tepat dan hasilnya baik.
Agar coping behavior berdaya guna, harus memiliki dua ciri sebagai
berikut:
·
Coping
behavior merupakan
pola-pola tingkah laku yang tertata dengan baik melalui beberapa tahapan yang
benar, terstruktur dan bermakna. Contohnya apabila seorang mahasiswa
membutuhkan sebuah buku dan hanya satu di perpustakaan, dia meminjam untuk
difoto copy terlebih dahulu atau mencatat hal yang penting dari buku tersebut.
·
Tingkah
laku yang mengandung coping behavior dilakukan secara sadar dan impulsif.
Coping behavior menurut
Taufik (2012: 61)
merupakan konsep yang pokok dalam konego dan salah satu tujuan dari konego
adalah pembentukan coping behavior pada diri klien. Sedangkan yang
menjadi tujuan akhir perkembangan kepribadian adalah terbentuknya coping
behavior secara otomatis.
3. Fungsi
Ego
Fungsi ego menurut Taufik (2012: 62)
dalam diri individu dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
a.
Fungsi dorongan ekonomis
Fungsi
ego ini menyalurkan dengan cara mewujudkan dalam bentuk tingkah laku secara
baik yaitu yang baik dan dapat diterima lingkungan, berguna dan menguntungkan
baik bagi diri individu sendiri maupun orang lain di lingkungannya.
b.
Fungsi kognitif
Berfungsinya
ego pada diri individu untuk menerima rangsangan dari luar kemudian
menyimpannya dan setelah itu dapat mempergunakannya unuk keperluan coping
behavior. Dalam hal ini individu mempergunakan kemampuan kognitifnya dengan
disertai oleh pertimbangan-pertimbangan akal dan menalar.
c.
Fungsi pengawasan
Disebut
juga dengan fungsi kontrol, maksudnya tingkah laku yang dimunculkan individu
merupakan tingkah laku yang berpola dan sesuai dengan aturan. Secara khusus,
fungsi ego ini mengontrol perasaan dan emosi terhadap tingkah laku yang
dimunculkan.
C.
PERKEMBANGAN
TINGKAH LAKU SALAH SUAI
Munculnya tingkah laku salah suai
pada diri seseorang disebabkan oleh tiga faktor, yaitu :
- Individu di masa lalunya kehilangan kemampuan atau tidak diperkenankan merespon rangsangan dari luar secara tepat sehingga pada saat sekarang menjadi salah suai dalam bertingkah.
- Apabila pola coping yang sudah terbina pada dirinya sekarang tidak sesuai lagi dengan situasi sekarang dimana ia berada.
- Fungsi ego tidak berjalan dengan baik, saat bertingkah laku salah satu fungsi ego atau ketiga-tiganya tidak berfungsi dengan baik.
Gejala-gejala umum tingkah laku
abnormal, yaitu adanya tingkah laku yang tidak luwes, tidak fleksibel, dan
individu tersebut tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan.
D.
TUJUAN
KONSELING DAN PROSES KONSELING
Adapun
tujuan konseling menurut Erikson adalah memfungsikan ego klien secara penuh.
Tujuan lainnya adalah melakukan perubahan-perubahan pada diri klien sehingga
terbentuk coping behavior yang dikehendaki dan dapat terbina agar ego
klien itu menjadi lebih kuat. Ego yang baik adalah ego yang kuat, yaitu yang
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan dimana dia berada (Heriawan
D Seputro, 2010)
Beberapa aturan dalam konseling ego
yaitu :
- Proses konseling harus bertitik tolak dari proses kesadaran.
- Proses konseling bertitik tolak dari asas kekinian.
- Proses konseling lebih ditekankan pada pembahasan secara rasional.
- Konselor hendaknya menciptakan suasana hangat dan spontan, baik dalam penerimaan klien maupun dalam proses konseling.
- Konseling harus dilakukan secara profesional.
- Proses konseling hendaklah tidak berusaha mengorganisir keseluruhan kepribadian individu, melainkan hanya pada pola-pola tingkah laku salah suai saja.
E.
TEKNIK
KONSELING
Adapun teknik-teknik dalam konseling
ego menurut (Heriawan D Seputro, 2010) adalah :
- Pertama-tama konselor perlu membina hubungan yang akrab dengan klien.
- Usaha yang dilakukan oleh konselor harus dipusatkan pada masalah yang dikeluhkan oleh klien, khususnya pada masalah yang ternyata di dalamnya tampak lemahnya ego.
- Pembahasan itu dipusatkan pada aspek-aspek kognitif dan aspek lain yang terkait dengannya.
- Mengembangkan situasi ambiguitas (keadaan bebas, tak terbatas, tidak dihalangi, dan tidak dihambat-hambat) yang dapat dibina dengan :
·
Konselor
memberi kesempatan kepada klien untuk memunculkan perasaan yang ada dalam
dirinya.
·
Klien
diperkenankan mengemukakan kondisi diri yang mungkin berbeda dengan orang lain.
·
Konselor
menyediakan fasilitas yang memungkinkan terjadinya transference melalui
proyeksi. Pribadi yang transference adalah pribadi yang mengizinkan
orang lain melihat pribadinya sedangkan proyeksi adalah mengemukakan sesuatu
yang sebetulnya ada pada diri sendiri.
- Pada saat klien transference, konselor hendaknya melakukan kontra transference.
- Konselor hendaknya melakukan diagnosis dengan dimensi-dimensinya, yaitu:
- Perincian dari masalah yang sedang dialami klien saat diselenggarakan konseling itu.
- Sebab-sebab timbulnya masalah tersebut, bisa juga titik api yang menyebabkan masalah tersebut menyebar.
- Menentukan letak masalah, apakah pada kebiasaan klien, cara bersikap atau cara merespon lingkungan.
- Kekuatan dan kelemahan masing-masing orang yang bermasalah.
- Membangun fungsi ego yang baru dengan cara:
- Dengan mengemukakan gagasan baru
- Berdasarkan diagnosis dan gagasan tersebut diberikan upaya pengubahan tingkah laku
- Pembuatan kontrak untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang telah diputuskan dalam konseling.
F.
KEKUATAN
DAN KELEMAHAN KONSELING EGO
Kekuatan atau kontribusi dari teori
konseling ego dalam situs resmi Konselor
Indonesia (2011) adalah :
1.
Adanya uraian tentang tahap-tahap
perkembangan yang dibagi dua, yaitu perkembangan sukses dan perkembangan gagal.
Hal ini dapat dimanfaatkan konselor dalam menemukan sumber masalah yang mungkin
berasal dari tahap-tahap perkembangan tertentu.
2.
Selalu mempertimbangkan aspek
psikososial yang akan membantu konselor untuk menganalisis bagaimana pengaruh
aspek social tersebut pada klien dan cara klien mempengaruhi lingkungan
sosialnya.
Kelemahan dari teori konseling ego
adalah teori ini tidak dapat dimanfaatkan selamanya oleh konselor untuk semua
masalah, sebab banyak masalah yang bukan disebabkan oleh tidak berfungsinya ego
klien, tetapi dikarenakan oleh kondisi-kondisi tertentu di lingkungan klien
yang tidak wajar dan itu terpaksa diterima oleh klien.
KEPUSTAKAAN
Heriawan D.
Seputro. 2010. Konseling Ego. (online).
(http://herryseputro.wordpress.com/2010/10/17/konseling-ego/, diakses pada 24 februari 2014
pukul 07.27)
Konselor Indonesia.
2011. Konseling Ego. (online). (http://blog-indonesia.com/blog-archive-14321-7.html, diakses pada 24 februari 2014
pukul 07.25)
Taufik. 2012. Model – Model Konseling. Padang: BK FIP
UNP
Zainal
Hakim. 2014. Teori Konseling Ego oleh
Erikson. (online). (http://www.zainalhakim.web.id/teori-konseling-ego-oleh-erikson.html, diakses 24 februari 2014 pukul 07.50)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar