Entri Populer

Jumat, 07 November 2014

Konseling Ego


KONSELING EGO (KONEGO)

A.    Pengantar Konseling Ego
Konseling ego dipopulerkan oleh Erickson. Konseling ego memiliki ciri khas yang lebih menekankan fungsi ego. Kegiata konseling yang dilakukan pada umumnya bertujuan untuk memperkuat ego strength, yang berarti melatih kekuatan ego klien. Seringkali orag yang bermasalah adalah orang yang memiliki ego yang lemah. Misalnya, orang yang rendah diri, dan tidak bisa mengambil pekutusan secara tepat dikarenakan ia tidak mampu memfungsikan egonya secara penuh, baik untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, meraih keinginannya. Perbedaan ego menurut Freud dengan ego menurut Erickson adalah menurut Freud ego tumbuh dari id, sedangkan menurut Erickson ego tumbuh sendiri yang menjadi kepribadian seseorang (Zainal Hakim, 2014)
Kemudian, Zainal Hakim (2014) juga menyebutkan tujuan konseling menurut Erickson adalah memfungsikan ego klien secara penuh. Tujuan lainnya adalah melakukan perubahan – perubahan pada diri klien sehingga terbentuk coping behavior yang dikehendaki dan dapat terbina agar klien itu menjadi lebih kuat. Ego yang baik adalah ego yang kuat, yaitu yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan dimana dia berada.
Model konseling ego, psikologi individual dan biasa juga disebut Psikologi dalam. Kesemua model ini pada dasarnya mempunyai kesamaan yang besar dengan pandangan Psikoanalisis Klasik (Taufik, 2012: 45). Kesamaan itu antara lain adalah: pertama,  mementingkan kehidupan anak di bawah lima tahun atau balita, kedua, sama – sama mempergunakan konsep ego, dan ketiga sama – sama mementingkan konsep kesadaran, bawah sadar dan ketidaksadaran.
Pada dasarnya kegiatan konseling adalah usaha memperkuat “ego strength” yang artinya kekuatan ego. Dengan demikian orang yang bermasalah adalah orang yang memiliki ego yang lemah.
Perbedaan antara ego menurut pandangan Psikoanalisis Sigmund Freud dengan ego menurut pandangan Psikoanalisis baru adalah ego itu tumbuh dari id atau merupakan kelanjutan daripada id sedangka menurut Psikoanalisis baru, ego itu tidak terikat pada id, jadi tumbuh sendiri yang merupakan keseluruhan kepribadian. Ego itulah yang tumbuh dan menjadi kepribadian seseorang. Jenis ego baur ini disebutnya juga dengan ego kreatif.

B.     Asumsi tentang Manusia
1.      Tahap Perkembangan Kepribadian
Erikson (dalam Taufik, 2012: 48) lebih menekankan pada pembahasan perkembangan psikososial. Dalam teorinya, Erikson (dalam Taufik, 2012: 49 – 57) merumuskan ciri – ciri perkembangan kepribadian menjadi delapan tahap, yaitu:
1.      Masa Bayi Awal (0 – 1 tahun)
Perkembangan yang sukses ditandai dengan sifat percaya. Jika anak memperoleh kasih sayang yang cukup dari orang tuanya dan kebutuhan terpenuhi dengan baik. Perkembangan yang gagal jika pada masa ini anak sering diterlantarkan dan dikasari oleh orang tua, maka dalam dirinya akan berkembang sikap tidak percaya.
2.      Masa Bayi Akhir (1 – 3 tahun)
Perkembangan yang sukses ditandai oleh adanya otonomi sedangkan perkembangan yang gagal ditandai oleh adanya perasaan ragu – ragu dan malu. Pada usia ini anak perlu mendapat kesempatan untuk melakukan kesalahan dan belajar dari kesalahannya itu. Jika orang tua terlalu berbuat banyak untuk kepentingan anak, hal ini dapat menghambat otonomi dan merusak kemampuan mereka untuk menghadapi dunia secara berhasil. Sikap orang tua yang cenderung melarang, memarahi, dan menyesali perbuatan anaknya akan menumbuh kembangkan perasaan ragu – ragu dan malu baik pada masa sekarag maupun pada tahap perkembangan selanjutnya.
3.      Masa Kanak – kanak Awal (3 – 5 tahun)
Perkembangan yang sukses ditandai oleh adanya inisiatif. Sedangkan perkembangan yang gagal ditandai dengan adanya perasaan bersalah. Menurut Erikson tugas individu pada masa ini adalah membentuk rasa memiliki kemampuan dan inisiatif. Sikap yang sebaiknya diambil oleh orang tua dalam mendidik adalah senantiasa memberikan kesempatan kepada anak untuk beraktualisasi diri dengan berbagai percobaan yang ingin mereka lakukan dan jika merangsang mereka untuk melakukan berbagai jenis percobaan walau menunjukkan hasil yang minimal.
4.      Masa Kanak – kanak Pertengahan ( 6 – 11 tahun)
Taufik (2012: 52) perkembangan yang sukses ditandai dengan menghasilkan, sedangkan perkembangan yang gagal ditandai dengan rasa rendah diri. Anak yang sukses menjalani perkembangannya sudah mau melakukan sesuatu, contohnya menyapu rumah, mengerjakan PR, dan membersihkan sepatu sendiri. Kewajiban melakukan hal tersebut menjadi ciri sukses yang disebut dengan mampu menghasilkan tanggungjawab. Sebaliknya, anak yang kurang beruntung mengalami rendah diri, misalnya takut ke sekolah, takut bernyanyi, dan kecenderungan merajuk. Anak – anak pada tahap ini mempunyai tugas untuk membentuk nilai – nilai pribadi dairi dalam kegiatan sosial, belajar menerima dan memahami orang lain. Kegagalan pada masa ini akan membentuk rasa ketidakmampuan sebagai seorang dewasa kelas, dan tahap perkembangan selanjutnya akan mengarah negative.
5.      Masa Puber dan Remaja (12 – 20 tahun)
Perkembangan yang sukses ditandai dengan kemampuan mengenal identitas dirinya sendiri. Perkembangan yang gagal ditandai kebingungan baik dalam peran gender, bingung dengan keadaan diri dan cita – cita dimasa depan. Menurut Erikson, krisis utama yang sering terjadi pada masa ini adalah krisis identitas yang terhadap perkembangan individu di masa dewasa. Remaja yang gagal dalam menentukan dirinya akan cenderung mengalami konflik pera, kehilangan tujuan dan arah hidupnya.
6.      Masa Dewasa Awal (21 – 30 tahun)
Perkembangan yang sukses ditandai dengan adanya keintiman, sedangkan perkembangan yang gagal ditandai oleh isolasi. Intim yang dimaksud adalah memiliki kemampuan yang baik untuk akrab dengan orang lain dan tidak menyukai sendiri. Perkembangan yang baik pada masa ini ditandai dengan adanya kematangan untuk memasuki lembaga perkawinan. Sebaliknya orang yang suka menyendiri sebenarnya ia sedang berada dalam kekacauan perkembangan. Ketidakpercayaan terhadap orang lain serta ketidakberanian untuk bekerja sama membuat individu tersebut untuk mengurung diri, mengalami kesukaran dalam membina rumah tangga yang harmonis dan kesulita bekerja bersama orang lain.
7.      Masa Dewasa Pertengahan (30 – 55 tahun)
Perkembangan yang sukses ditandai dengan adanya keaktifan dalam berbagai bidang secara umum. Secara umum individu yang berada pada masa ini mampu melibatkan diri secara luas yang diwujudkan dalam bentuk kemampuan untuk mengasihi secara baik, bekerja baik, dan bersahabat. Inilah yang disebut dengan kedewasaan dan kematangan secara penuh. Individu yang sukses akan mampu berprestasi dengan baik pada bidang yang ditekuninya. Pada tahap ini sudah mencapai kematangan yang sempurna baik secara sosial, ekonomi, emosi, dan intelektual.
8.      Masa dewasa akhir (55 tahun ke atas)
Perkembangan yang sukses ditandai dengan keterpaduan dan perkembangan yang gagal ditandai dengan keputusasaan. Sukses yang terpadu maksudnya apa yang dilakukannya sudah dapat dimaknainya dengan baik, misalnya jika sudah memiliki cucu, dia akan sayang pada cucu dan menantunya. Sebaliknya perkembangan yang gagal cenderung membenci menantu dan cucu serta banyak penyesalan.
2.   Proses Perkembangan Kepribadian
Erikson (dalam Taufik, 2012: 58 – 59) membagi atas empat tahapan sebagai berikut :
a.       Ego berkembang atas kekuatan dirinya sendiri.
b.      Pertumbuhan ego yang normal adalah dengan berkembangnya keterampilan anak dalam berkomunikasi. Karena melalui komunikasi individu dapat mengukur dan menilai tingkah lakunya berdasarkan reaksi dari orang lain.
c.       Perkembangan bahasa juga menambah keterampilan individu untuk membedakan suatu objek dalam lingkungan dengan bahasa individu mampu berkomunikasi dengan orang lain.
d.      Kepribadian individu berkembang terus menerus melalui proses hubungan dirinya dengan dunia luar atau lingkungannya (adanya keterkaitan antara hubungan yang satu dengan yang lain).
Dalam berkomunikasi dengan lingkungannya ada empat aspek yang perlu diperhatikan, yaitu :
·         Individu belajar membedakan suatu objek dengan objek yang lainnya.
·         Individu harus bisa melibatkan diri dengan lingkungan yang spesial yang makin lama makin meluas dan makin mendalam.
·         Proses sosialisasi, maksudnya adalah berhubungan dengan orang lain, dengan adanya hubungan dengan orang lain individu dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang diharapkan oleh lingkungan sosialnya.
·         Perkembangan kepribadian yang baik apabila kepribadian itu mengarah kepada pembentukan “coping behavior”. Coping behavior adalah kemampuan atau tingkah laku individu yang dapat menangani suatu masalah secara tepat dan hasilnya baik. Agar coping behavior berdaya guna, harus memiliki dua ciri sebagai berikut:
·         Coping behavior merupakan pola-pola tingkah laku yang tertata dengan baik melalui beberapa tahapan yang benar, terstruktur dan bermakna. Contohnya apabila seorang mahasiswa membutuhkan sebuah buku dan hanya satu di perpustakaan, dia meminjam untuk difoto copy terlebih dahulu atau mencatat hal yang penting dari buku tersebut.
·         Tingkah laku yang mengandung coping behavior dilakukan secara sadar dan impulsif.

Coping behavior menurut Taufik (2012: 61) merupakan konsep yang pokok dalam konego dan salah satu tujuan dari konego adalah pembentukan coping behavior pada diri klien. Sedangkan yang menjadi tujuan akhir perkembangan kepribadian adalah terbentuknya coping behavior secara otomatis.
3.   Fungsi Ego
Fungsi ego menurut Taufik (2012: 62) dalam diri individu dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
a.      Fungsi dorongan ekonomis
            Fungsi ego ini menyalurkan dengan cara mewujudkan dalam bentuk tingkah laku secara baik yaitu yang baik dan dapat diterima lingkungan, berguna dan menguntungkan baik bagi diri individu sendiri maupun orang lain di lingkungannya.
b.      Fungsi kognitif
            Berfungsinya ego pada diri individu untuk menerima rangsangan dari luar kemudian menyimpannya dan setelah itu dapat mempergunakannya unuk keperluan coping behavior. Dalam hal ini individu mempergunakan kemampuan kognitifnya dengan disertai oleh pertimbangan-pertimbangan akal dan menalar.
c.       Fungsi pengawasan
            Disebut juga dengan fungsi kontrol, maksudnya tingkah laku yang dimunculkan individu merupakan tingkah laku yang berpola dan sesuai dengan aturan. Secara khusus, fungsi ego ini mengontrol perasaan dan emosi terhadap tingkah laku yang dimunculkan.

C.    PERKEMBANGAN TINGKAH LAKU SALAH SUAI
Munculnya tingkah laku salah suai pada diri seseorang disebabkan oleh tiga faktor, yaitu :
  • Individu di masa lalunya kehilangan kemampuan atau tidak diperkenankan merespon rangsangan dari luar secara tepat sehingga pada saat sekarang menjadi salah suai dalam bertingkah.
  • Apabila pola coping yang sudah terbina pada dirinya sekarang tidak sesuai lagi dengan situasi sekarang dimana ia berada.
  • Fungsi ego tidak berjalan dengan baik, saat bertingkah laku salah satu fungsi ego atau ketiga-tiganya tidak berfungsi dengan baik.

Gejala-gejala umum tingkah laku abnormal, yaitu adanya tingkah laku yang tidak luwes, tidak fleksibel, dan individu tersebut tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan.

D.    TUJUAN KONSELING DAN PROSES KONSELING
Adapun tujuan konseling menurut Erikson adalah memfungsikan ego klien secara penuh. Tujuan lainnya adalah melakukan perubahan-perubahan pada diri klien sehingga terbentuk coping behavior yang dikehendaki dan dapat terbina agar ego klien itu menjadi lebih kuat. Ego yang baik adalah ego yang kuat, yaitu yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan dimana dia berada (Heriawan D Seputro, 2010)
Beberapa aturan dalam konseling ego yaitu :
  1. Proses konseling harus bertitik tolak dari proses kesadaran.
  2. Proses konseling bertitik tolak dari asas kekinian.
  3. Proses konseling lebih ditekankan pada pembahasan secara rasional.
  4. Konselor hendaknya menciptakan suasana hangat dan spontan, baik dalam penerimaan klien maupun dalam proses konseling.
  5. Konseling harus dilakukan secara profesional.
  6. Proses konseling hendaklah tidak berusaha mengorganisir keseluruhan kepribadian individu, melainkan hanya pada pola-pola tingkah laku salah suai saja.

E.     TEKNIK KONSELING
Adapun teknik-teknik dalam konseling ego menurut (Heriawan D Seputro, 2010) adalah :
  1. Pertama-tama konselor perlu membina hubungan yang akrab dengan klien.
  2. Usaha yang dilakukan oleh konselor harus dipusatkan pada masalah yang dikeluhkan oleh klien, khususnya pada masalah yang ternyata di dalamnya tampak lemahnya ego.
  3. Pembahasan itu dipusatkan pada aspek-aspek kognitif dan aspek lain yang terkait dengannya.
  4. Mengembangkan situasi ambiguitas (keadaan bebas, tak terbatas, tidak dihalangi, dan tidak dihambat-hambat) yang dapat dibina dengan :
·         Konselor memberi kesempatan kepada klien untuk memunculkan perasaan yang ada dalam dirinya.
·         Klien diperkenankan mengemukakan kondisi diri yang mungkin berbeda dengan orang lain.
·         Konselor menyediakan fasilitas yang memungkinkan terjadinya transference melalui proyeksi. Pribadi yang transference adalah pribadi yang mengizinkan orang lain melihat pribadinya sedangkan proyeksi adalah mengemukakan sesuatu yang sebetulnya ada pada diri sendiri.
  1. Pada saat klien transference, konselor hendaknya melakukan kontra transference.
  2. Konselor hendaknya melakukan diagnosis dengan dimensi-dimensinya, yaitu:
  3. Perincian dari masalah yang sedang dialami klien saat diselenggarakan konseling itu.
  4. Sebab-sebab timbulnya masalah tersebut, bisa juga titik api yang menyebabkan masalah tersebut menyebar.
  5. Menentukan letak masalah, apakah pada kebiasaan klien, cara bersikap atau cara merespon lingkungan.
  6. Kekuatan dan kelemahan masing-masing orang yang bermasalah.
  7. Membangun fungsi ego yang baru dengan cara:
  8. Dengan mengemukakan gagasan baru
  9. Berdasarkan diagnosis dan gagasan tersebut diberikan upaya pengubahan tingkah laku
  10. Pembuatan kontrak untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang telah diputuskan dalam konseling.

F.     KEKUATAN DAN KELEMAHAN KONSELING EGO
Kekuatan atau kontribusi dari teori konseling ego dalam situs resmi Konselor  Indonesia (2011) adalah :
1.      Adanya uraian tentang tahap-tahap perkembangan yang dibagi dua, yaitu perkembangan sukses dan perkembangan gagal. Hal ini dapat dimanfaatkan konselor dalam menemukan sumber masalah yang mungkin berasal dari tahap-tahap perkembangan tertentu.
2.      Selalu mempertimbangkan aspek psikososial yang akan membantu konselor untuk menganalisis bagaimana pengaruh aspek social tersebut pada klien dan cara klien mempengaruhi lingkungan sosialnya.
Kelemahan dari teori konseling ego adalah teori ini tidak dapat dimanfaatkan selamanya oleh konselor untuk semua masalah, sebab banyak masalah yang bukan disebabkan oleh tidak berfungsinya ego klien, tetapi dikarenakan oleh kondisi-kondisi tertentu di lingkungan klien yang tidak wajar dan itu terpaksa diterima oleh klien.

















KEPUSTAKAAN


Heriawan D. Seputro. 2010. Konseling Ego. (online). (http://herryseputro.wordpress.com/2010/10/17/konseling-ego/, diakses pada 24 februari 2014 pukul 07.27)
Konselor Indonesia. 2011. Konseling Ego. (online). (http://blog-indonesia.com/blog-archive-14321-7.html, diakses pada 24 februari 2014 pukul 07.25)
Taufik. 2012. Model – Model Konseling. Padang: BK FIP UNP
Zainal Hakim. 2014. Teori Konseling Ego oleh Erikson. (online). (http://www.zainalhakim.web.id/teori-konseling-ego-oleh-erikson.html, diakses 24 februari 2014 pukul 07.50)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar